Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus.
Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye.
Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun sesampai di sana, mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya telah hilang di telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam menjalankan tugas yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan kejadian itu pada orang tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor. Mendengar laporan kedua anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka mencari itik-itik itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan mengarungi lautan luas untuk mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah berhari-hari mencari ke segala penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri yang bernama Surele.
Saat mereka sampai di Negeri Serule hari telah gelap gulita. Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu sangat disayangi oleh Raja Cik Serule.
Selama kedua anak itu berada di Negeri Serule, rakyat Serule makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu mempunyai tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka memiliki tuah tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.
Melihat kemakmuran Negeri Serule akibat kesaktian atau tuah dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari negeri tetangga merasa cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh kedua anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil diselamatkan oleh Raja Cik Serule dengan menyembunyikannya di suatu tempat diketahui oleh sembatang orang. Jasad Muria yang terbunuh itu dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh Tengah.
Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh. Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Segenda. Saat para raja mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Segenda yang bukan seorang raja, menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik perhatian puteri Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan jenis binatang yang dilukis oleh Segenda.
Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda mencari dan menangkap gajah itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat kebingungan menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara mencari dan menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya itu, Segende kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi oleh roh kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh kakaknya itu memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari gajah putih.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat gajah itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali kulit ke leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya diam saja, tetapi tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak beranjak dati tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu, sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.
Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.
Sumber:
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye.
Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun sesampai di sana, mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya telah hilang di telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam menjalankan tugas yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan kejadian itu pada orang tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor. Mendengar laporan kedua anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka mencari itik-itik itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan mengarungi lautan luas untuk mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah berhari-hari mencari ke segala penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri yang bernama Surele.
Saat mereka sampai di Negeri Serule hari telah gelap gulita. Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu sangat disayangi oleh Raja Cik Serule.
Selama kedua anak itu berada di Negeri Serule, rakyat Serule makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu mempunyai tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka memiliki tuah tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.
Melihat kemakmuran Negeri Serule akibat kesaktian atau tuah dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari negeri tetangga merasa cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh kedua anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil diselamatkan oleh Raja Cik Serule dengan menyembunyikannya di suatu tempat diketahui oleh sembatang orang. Jasad Muria yang terbunuh itu dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh Tengah.
Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh. Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Segenda. Saat para raja mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Segenda yang bukan seorang raja, menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik perhatian puteri Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan jenis binatang yang dilukis oleh Segenda.
Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda mencari dan menangkap gajah itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat kebingungan menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara mencari dan menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya itu, Segende kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi oleh roh kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh kakaknya itu memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari gajah putih.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat gajah itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali kulit ke leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya diam saja, tetapi tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak beranjak dati tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu, sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.
Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.
Sumber:
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.